waznd.org |
Epilog Mempersiapkan Anak-Anak (dan Sumber Daya Manusia Kita)
M unculnya eksekutif-eksekutif andal tentu tidak lepas dari peran keluarga. Emirsyah Satar, Ignatius Jonan, Joko Widodo, Dahlan Iskan, RJ Lino, Sehat Sutardja, dan banyak eksekutif top Indonesia lainnya tentu tidak muncul begitu saja. Juga mereka tidak jadi hebat hanya semata-mata karena training-training yang mereka dapatkan dari pendidikan formal di dalam perusahaan atau almamater mereka masing-masing. Sama seperti Sano Ami, Theodore Roosevelt, dan Barack Obama.
Di seluruh dunia, benih-benih bagus ini pertama-tama dibentuk oleh keluarga, dari rumah. Oleh karena itu, pada bab ini, saya akan menekankan pada aspek executive functioning , semua modal ekonomi satu bangsa yang berasal dari pembentukan mental semasa muda. Pembentukan mental itu mencakup keterampilan-keterampilan hidup dasar yang mem-bentuk fondasi kepemimpinan seseorang, sekaligus fondasi ekonomi satu bangsa.
Saya ajak Anda mengenang kejadian berikut. Ini tentang kisah anak berusia 13 tahun, yang sudah dilepas ayahnya membawa mobil sendiri pada tengah malam dan berakibat kecelakaan yang menewaskan banyak orang.
Pembentukan mental itu mencakup keterampilan-keterampilan hidup dasar yang membentuk fondasi kepemimpinan seseorang, sekaligus fondasi ekonomi satu bangsa.
Memang, ia ditemani seseorang, tetapi ia juga masih terbilang bocah. Ia bukan mengemudi di dekat rumah dengan pengawasan orangtua, melainkan di jalan tol, menempuh jarak yang terbilang jauh dari rumahnya di Pondok Indah. Kecelakaan maut itu terjadi pukul 00.45 WIB di KM 8 Jalan Tol Jagorawi. Dan apesnya, enam orang tewas, dan beberapa anak langsung menjadi yatim piatu.
Anda benar, itulah kasus yang menimpa putra selebritas Ahmad Dhani, AQJ (Abdul Qadir Jaelani, atau Dul) yang kasusnya sudah diputus pengadilan belum lama ini. Kasus ini mendapat perhatian luas di seluruh negeri. Menyangkut rasa keadilan dan menyentuh para pendidik tentang apa yang tengah terjadi di kalangan kelas menengah kita dan kaum muda.
Ini tentu sangat memprihatinkan. Namun, setiap kali melihat bagaimana masyarakat mendidik anak-anak, saya sebenarnya sangat khawatir. Tak dapat dimungkiri, tumbuhnya kelas menengah telah menimbulkan gejolak perubahan yang sangat besar. Dan ini menjadi benih lahirnya passenger nation , atau malah bad driver nation , yaitu bangsa yang disandera manusia-manusia bermental bad passenger atau bad driver .
Reaksi orangtua terhadap ancaman hedonisme di sini sangat ekstrem: Yang satu mengekang habis anak-anak dengan dogma, agama, dan sekolah sehingga melahirkan anak-anak alim yang amat konservatif. Corriveau, Chen, & Harris (2014) dalam studinya menemukan, anak-anak yang dididik dengan cara yang demikian kelak akan kesulitan membedakan fakta dengan fiksi. Yang satunya lagi sebaliknya, memberi materi dan servis tiada batas sehingga menjadi amat liberal.
Di segmen keluarga kelas menengah-atas, anak-anak diberikan mobil. Sedangkan di segmen bawah menuntut dibelikan sepeda motor meski usianya belum 17 tahun. Kebut-kebutan menjadi biasa, korban pun sudah sangat sering berjatuhan. Karena mereka bukan siapa-siapa, maka kecelakaan dan kematian yang ditimbulkan tidak masuk dalam orbit media massa. Kematian yang ditimbulkan AQJ dan anak-anak yang jatuh dari sepeda motor lainnya mengirim sinyal penting bagi kita semua.
Business Class
Di pesawat terbang, mungkin hanya di Indonesia, Anda bisa menyaksikan banyak keluarga muda membawa anak-anaknya duduk di kelas bisnis. Dua orang babysitter , duduk sedikit di belakang, tak jauh dari batas kelas eksekutif mengawal anak-anak yang sudah bukan bayi lagi itu. Pada masa liburan, bukan hal aneh menemukan keluarga para eksekutif bisnis menunggu di business lounge , dan naik pesawat dengan tiket termahal.
Sayang sekali, anak-anak tersebut belum dididik layaknya kelas menengah. Berteriak-teriak di antara kalangan bisnis, makan tercecer di jalan, dan memperlakukan pramugari seperti pembantu di rumah. Sebentar-sebentar bel dipijit, dan pramugari bolak-balik sibuk hanya melayani dua orang kakak-beradik yang minta segala layanan. Menjelang tiba di tujuan, orangtua baru mulai menyentuh anak-anaknya, dibantu babysitter yang terlihat gelisah.
Jarang ditemui percakapan yang memotivasi, atau mengajarkan sikap hidup. Paling banter, mereka bermain video games dari iPad orangtuanya. Padahal di luar negeri, iPad adalah alat kerja eksekutif yang dianggap barang mewah.
Jadi, karakter positif anak-anak tak terbentuk. Sikap sosialnya, termasuk modal dasar sebagai executive functioning dan self regulation tidak terproses dengan baik. Orangtua hanya fokus pada kemampuan anak berhitung dan membaca. Padahal, mereka juga harus pandai mengelola “ air traffic control ” yang ada dalam pikiran anak-anaknya agar kelak mampu menjadi insan mandiri yang bertanggung jawab.
waznd.org
EmoticonEmoticon