Kamis, 19 April 2018

Focus dan Self Control

waznd.org

Focus dan Self Control

Istilah executive functioning sendiri kini mulai dipakai para pendidik dan ahli manajemen karena merupakan modal dasar bagi kaum muda untuk menjadi a good driver . Tanpa executive functioning , kaum muda akan berhenti sekolah sebelum selesai, berhenti mendaki sebelum mencapai puncak gunung yang in­dah. Executive functioning diaktifkan melalui tiga elemen psi­kologis yang bisa dilatih, yaitu inhibitory control (tahu dan tidak melakukan apa yang tidak boleh diucapkan/dilakukan) dan self regulation (meregulasi diri), working memory (kemampuan menata informasi dengan tanggap dalam memori), dan cognitive flexibility (kemampuan beradaptasi).

Istilahnya terdengar teknis, tetapi sesungguhnya mudah di­pahami. Inhibitory control intinya adalah pengendalian diri. Kita perlu melatih kaum muda mengendalikan simpul-simpul saraf “liarnya” dalam berhubungan dengan orang lain, sehingga tidak menjadi sosok yang asal bicara, asal bertindak seperti main siram atau tendang hingga mereka dewasa. Persis seperti politisi-politisi atau tokoh-tokoh ormas yang sering membuat sensasi murahan di depan kamera televisi.

Artinya, hidup ini bukan membiarkan simpul-simpul liar itu bekerja otomatis, mengalir begitu saja tanpa mempertimbangkan kehadiran orang lain, tempat, dan waktu. Anak-anak perlu di­latih mengendalikan ego, berpikir dulu sebelum bertindak. Ber­pikir tentang orang lain, membentuk rasa hormat sehingga terbiasa mengendalikan diri. Singkatnya, hidup ini ada aturan­nya. Seorang good driver tak bisa sesuka hati mengemudi­kan dirinya tanpa mematuhi aturan-aturan baik yang tertulis mau­pun tidak.

Apa yang harus mereka lakukan bukanlah berbalas-balas­an (“ tit for tat ”) saat mainannya dirampas, dirinya diolok-olok, di­ren­dah­kan, atau diganggu haknya. Atau saat orang dewasa mendapat informasi yang tidak sesuai dengan keinginannya dan menghadapi perasaan-perasaan pribadinya saat tersinggung dan sebagainya. Mereka yang tak terlatih akan membiarkan dirinya makan tanpa batas, menguras sesuatu tanpa kesadaran bahaya terhadap hidupnya.

Saya ingin mengajak Anda berkunjung ke PAUD-TK Kuti­lang-Rumah Perubahan untuk melihat bagaimana pembentuk­an karakter dimulai dari usia paling dini. Di sana, Anda tak akan melihat sekolah seperti layaknya kelas yang dulu Anda ja­lani. Di sana hanya ada anak-anak yang bermain dan ber­main. Tetapi tanpa disadari, mereka belajar berhitung, men­jalankan role-playing yang ada aturannya. Aturannya adalah sa­ling menghormati, tahu batas waktu (sehingga kalau terlalu lama berebutan peran maka waktu bermain hanya tinggal sedikit), negosiasi, merancang cerita bersama, dan bila harus menggu­na­kan alat permainan (misalnya permainan balok) ambillah secu­kupnya. Maksud saya semampu atau semuat tangan mengambil.

Permainan balok di TK ini juga sangat mengasyikan, siswa-siswi kecil sejak awal harus bermain dalam satu bidang yang ada batasnya, yaitu alas tripleks ukuran 60 cm x 120 cm. Me­ngapa? Setiap anak harus tahu bahwa hidup ini ada aturan dan batasan-batasannya.

Saya bisa paham karena anak-anak yang tidak dibatasi bisa menjadi sangat liar, sangat bebas. Dan begitu kita tidak mem­bentuknya sedari dini, maka kita pun akan menyesal. Tetapi ini belum cukup. Kita tidak bisa asal membatasi. Anak-anak ju­ga butuh kreativitas, perlu diasah cognitive flexibility -nya agar mudah beradaptasi dalam berbagai situasi yang berubah. Anda tahu di atas papan tripleks itu anak-anak bisa membuat po­tongan balok-balok ringan itu menjadi apa? Kalau Anda datang ke TK ini, pasti Anda akan terkejut betapa hebatnya daya imajinasi anak-anak kampung yang dididik oleh guru-guru hebat. Mereka bisa membuat Kapal Titanic yang indah, Masjid Istiqlal, Gereja Katedral dengan menaranya, atau bangunan-bangunan lain yang tak terbayangkan. Itulah benih-benih kreativitas.

Jadi, membentuk karakter dimulai dari usia dini, termasuk di dalamnya adalah kemahiran mengendalikan perhatian se-hingga mampu fokus dan respek terhadap orang lain yang sedang bersama mereka.

Saat mereka menjadi orang yang lebih dewasa, ketika me­nyetir mobil, tentu mereka harus fokus terhadap jalan, bukan terhadap hal-hal lain seperti layar televisi, SMS, atau me­dia sosial. Anak-anak yang terlatih fokus akan lebih menikmati “pengalaman” mencapai sesuatu, ketimbang sesuatu itu sendiri (yang telah tercapai). Mereka kelak bisa membedakan capek fisik—sehingga cepat menyerah karena ingin cepat-cepat me­nikmati secara duniawi dan menjadi the campers (berkemah se­belum puncak), atau bergerak terus—menjadi the climbers yang menikmati perjalanan seakan tanpa letih (Stoltz, 1999).

Maka itu, melatih anak-anak fokus adalah melatih diri mereka agar terbiasa hidup dalam aturan yang disepakati, yai­tu fokus pada kesepakatan, mengabaikan hal-hal yang tidak pen­ting, dan tak pulang sebelum selesai. Dulu saya pikir, melatih hal-hal seperti ini sulit sekali. Ini ada benarnya, sebab berkali-kali saya “dikerjai” orangtua murid untuk mengajar di depan anak-anak mereka yang masih duduk di bangku TK dan SD, dan saya menyerah. Ampun, mereka tidak fokus.

Saya juga pernah membawa seorang jagoan hipnotis untuk menghibur anak-anak di rumah baca kami di Rumah Perubah­an. Waktu itu, kami belum memperkenalkan metode yang me­latih mereka meregulasi diri dan fokus. Ternyata, ia pun me­nyerah. Konon, anak-anak yang tak fokus itu sulit sekali di­hipnotis. Mereka terlalu riang dan lepas, bicara sendiri-sendiri dengan kelompoknya, sedangkan anak-anak yang jahil menjitak kepala temannya dari belakang.

Rupanya, melatih anak-anak seperti itu ada metodenya se­perti yang saya jelaskan di atas. Anak-anak bisa begitu fokus, bisa tetap kreatif dalam aturan yang disepakati. Dan setelah men­dalami konsep ini, saya mengatakan pada orangtua dan guru, inilah executive functioning .

waznd.org

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon