waznd.org |
Focus dan Self Control
Istilah executive functioning sendiri kini mulai dipakai para pendidik dan ahli manajemen karena merupakan modal dasar bagi kaum muda untuk menjadi a good driver . Tanpa executive functioning , kaum muda akan berhenti sekolah sebelum selesai, berhenti mendaki sebelum mencapai puncak gunung yang indah. Executive functioning diaktifkan melalui tiga elemen psikologis yang bisa dilatih, yaitu inhibitory control (tahu dan tidak melakukan apa yang tidak boleh diucapkan/dilakukan) dan self regulation (meregulasi diri), working memory (kemampuan menata informasi dengan tanggap dalam memori), dan cognitive flexibility (kemampuan beradaptasi).
Istilahnya terdengar teknis, tetapi sesungguhnya mudah dipahami. Inhibitory control intinya adalah pengendalian diri. Kita perlu melatih kaum muda mengendalikan simpul-simpul saraf “liarnya” dalam berhubungan dengan orang lain, sehingga tidak menjadi sosok yang asal bicara, asal bertindak seperti main siram atau tendang hingga mereka dewasa. Persis seperti politisi-politisi atau tokoh-tokoh ormas yang sering membuat sensasi murahan di depan kamera televisi.
Artinya, hidup ini bukan membiarkan simpul-simpul liar itu bekerja otomatis, mengalir begitu saja tanpa mempertimbangkan kehadiran orang lain, tempat, dan waktu. Anak-anak perlu dilatih mengendalikan ego, berpikir dulu sebelum bertindak. Berpikir tentang orang lain, membentuk rasa hormat sehingga terbiasa mengendalikan diri. Singkatnya, hidup ini ada aturannya. Seorang good driver tak bisa sesuka hati mengemudikan dirinya tanpa mematuhi aturan-aturan baik yang tertulis maupun tidak.
Apa yang harus mereka lakukan bukanlah berbalas-balasan (“ tit for tat ”) saat mainannya dirampas, dirinya diolok-olok, direndahkan, atau diganggu haknya. Atau saat orang dewasa mendapat informasi yang tidak sesuai dengan keinginannya dan menghadapi perasaan-perasaan pribadinya saat tersinggung dan sebagainya. Mereka yang tak terlatih akan membiarkan dirinya makan tanpa batas, menguras sesuatu tanpa kesadaran bahaya terhadap hidupnya.
Saya ingin mengajak Anda berkunjung ke PAUD-TK Kutilang-Rumah Perubahan untuk melihat bagaimana pembentukan karakter dimulai dari usia paling dini. Di sana, Anda tak akan melihat sekolah seperti layaknya kelas yang dulu Anda jalani. Di sana hanya ada anak-anak yang bermain dan bermain. Tetapi tanpa disadari, mereka belajar berhitung, menjalankan role-playing yang ada aturannya. Aturannya adalah saling menghormati, tahu batas waktu (sehingga kalau terlalu lama berebutan peran maka waktu bermain hanya tinggal sedikit), negosiasi, merancang cerita bersama, dan bila harus menggunakan alat permainan (misalnya permainan balok) ambillah secukupnya. Maksud saya semampu atau semuat tangan mengambil.
Permainan balok di TK ini juga sangat mengasyikan, siswa-siswi kecil sejak awal harus bermain dalam satu bidang yang ada batasnya, yaitu alas tripleks ukuran 60 cm x 120 cm. Mengapa? Setiap anak harus tahu bahwa hidup ini ada aturan dan batasan-batasannya.
Saya bisa paham karena anak-anak yang tidak dibatasi bisa menjadi sangat liar, sangat bebas. Dan begitu kita tidak membentuknya sedari dini, maka kita pun akan menyesal. Tetapi ini belum cukup. Kita tidak bisa asal membatasi. Anak-anak juga butuh kreativitas, perlu diasah cognitive flexibility -nya agar mudah beradaptasi dalam berbagai situasi yang berubah. Anda tahu di atas papan tripleks itu anak-anak bisa membuat potongan balok-balok ringan itu menjadi apa? Kalau Anda datang ke TK ini, pasti Anda akan terkejut betapa hebatnya daya imajinasi anak-anak kampung yang dididik oleh guru-guru hebat. Mereka bisa membuat Kapal Titanic yang indah, Masjid Istiqlal, Gereja Katedral dengan menaranya, atau bangunan-bangunan lain yang tak terbayangkan. Itulah benih-benih kreativitas.
Jadi, membentuk karakter dimulai dari usia dini, termasuk di dalamnya adalah kemahiran mengendalikan perhatian se-hingga mampu fokus dan respek terhadap orang lain yang sedang bersama mereka.
Saat mereka menjadi orang yang lebih dewasa, ketika menyetir mobil, tentu mereka harus fokus terhadap jalan, bukan terhadap hal-hal lain seperti layar televisi, SMS, atau media sosial. Anak-anak yang terlatih fokus akan lebih menikmati “pengalaman” mencapai sesuatu, ketimbang sesuatu itu sendiri (yang telah tercapai). Mereka kelak bisa membedakan capek fisik—sehingga cepat menyerah karena ingin cepat-cepat menikmati secara duniawi dan menjadi the campers (berkemah sebelum puncak), atau bergerak terus—menjadi the climbers yang menikmati perjalanan seakan tanpa letih (Stoltz, 1999).
Maka itu, melatih anak-anak fokus adalah melatih diri mereka agar terbiasa hidup dalam aturan yang disepakati, yaitu fokus pada kesepakatan, mengabaikan hal-hal yang tidak penting, dan tak pulang sebelum selesai. Dulu saya pikir, melatih hal-hal seperti ini sulit sekali. Ini ada benarnya, sebab berkali-kali saya “dikerjai” orangtua murid untuk mengajar di depan anak-anak mereka yang masih duduk di bangku TK dan SD, dan saya menyerah. Ampun, mereka tidak fokus.
Saya juga pernah membawa seorang jagoan hipnotis untuk menghibur anak-anak di rumah baca kami di Rumah Perubahan. Waktu itu, kami belum memperkenalkan metode yang melatih mereka meregulasi diri dan fokus. Ternyata, ia pun menyerah. Konon, anak-anak yang tak fokus itu sulit sekali dihipnotis. Mereka terlalu riang dan lepas, bicara sendiri-sendiri dengan kelompoknya, sedangkan anak-anak yang jahil menjitak kepala temannya dari belakang.
Rupanya, melatih anak-anak seperti itu ada metodenya seperti yang saya jelaskan di atas. Anak-anak bisa begitu fokus, bisa tetap kreatif dalam aturan yang disepakati. Dan setelah mendalami konsep ini, saya mengatakan pada orangtua dan guru, inilah executive functioning .
waznd.org
EmoticonEmoticon